Jumat, 10 Oktober 2008

Foke : Target 2 tahun untuk pengelolaan keuangan

Demikianlah Fauzi Bowo alias Foke bertutur dalam pidatonya setelah penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) dengan BPKP di Balai Kota DKI Jakarta pada 7 Agustus 2008. MoU ini dilatarbelakangi oleh pemberian opini Disclaimer dari BPK untuk tahun anggaran 2007, suatu opini/pendapat dari auditor yang berarti bahwa terdapat suatu nilai yang secara material (signifikan) tidak dapat diyakini auditor. Kondisi ini dapat disebabkan karena adanya suatu pembatasan ruang lingkup pemeriksaan yang dilakukan manajemen atau bisa juga karena sesuatu dan lain hal yang menyebabkan auditor tidak mendapatkan bukti-bukti/data yang cukup atau karena sistem pengendalian intern sedemikian lemahnya, sehingga auditor tidak mendapatkan keyakinan mengenai substansi laporan keuangan tersebut.

Foke menargetkan dalam kurun waktu 2 (dua) tahun kedepan untuk melakukan perbaikan kinerja dalam mengelola keuangan daerah dengan menggandeng BPKP sebagai mitra kerja. Dengan adanya MoU ini diharapkan opini BPK di tahun-tahun yang akan datang menjadi lebih baik dari yang sekarang. Foke mengibaratkan Provinsi DKI Jakarta seperti orang kaya namun tidak mengetahui berapa nilai kekayaannya yang sebenarnya. Ini disebabkan karena pengelolaan administrasi keuangan terutama aset pemda DKI yang kurang tertib atau salah urus. Salah satu kendala yang dihadapi oleh Pemda DKI adalah kurangnya tenaga akuntan, dimana 20 akuntan harus mengelola 722 satuan kerja, suatu perbandingan yang tidak seimbang.

Muatan Kesepakatan Bersama (MoU) yang ditandatangani tersebut mencakup: Bantuan pelaksanaan audit; Penataan manajemen pengelolaan aset; Asistensi penerapan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) baik di tingkat SKPD maupun tingkat Provinsi; Asistensi untuk mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta bidang-bidang tugas lain yang akan dikoordinasikan Sekda dan difasilitasi oleh Bawasda.

Sedangkan wujud dari Mou tersebut ditekankan pada dua hal pokok , yaitu:
- Revitalisasi Penatausahaan Aset Daerah, meliputi Maping terhadap seluruh Aset Tetap; penilaian kembali atas Nilai Aset Tetap sesuai Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) dan revitalisasi sistem kearsipan aset yang merupakan bagian penting dari pengamanan dokumen bukti kepemilikan aset daerah.
- Memposisikan Sistem Pengolahan Keuangan Daerah agar sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam PP No.58 Tahun 2005; Permendagri No.13 Tahun 2006 dan Permendagri No.59 Tahun 2007 serta berbagai ketentuan lain yang terkait.

Sementara itu, Kepala BPKP Didi Widayadi dalam pidatonya mengemukakan bahwa di Provinsi DKI Jakarta masih ditemukan adanya beberapa permasalahan seperti:
Pertama, dari perkembangan kasus berindikasi Tindak Pidana Korupsi (TPK) di Provinsi DKI Jakarta selama kurun waktu tahun 2004 sampai dengan bulan Juli 2008 menunjukkan data yang cukup signifikan. Hasil audit investigasi yang diserahkan ke instansi penyidik sebanyak 15 kasus dengan kerugian negara sebesar Rp. 25,423 Milyar. Hasil audit perhitungan kerugian Negara (PKN) yang diserahkan ke Kepolisian RI sebanyak 21 kasus dengan kerugian Negara sebesar Rp 42,384 Milyar, dan yang diserahkan ke Kejaksaan sebanyak 4 kasus dengan kerugian Negara sebesar Rp 2,633 Milyar.
Kedua, hasil audit BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Pemprov DKI, terdapat Penurunan strata opini dari opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) pada tahun 2006, menjadi opini Disclaimer (tidak memberikan pendapat) pada tahun 2007. Hal ini menunjukkan bahwa akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah “masih terdapat masalah”. Penyebab opini itu secara umum adalah lemahnya sistem pengendalian intern, penyusunan laporan keuangan belum sepenuhnya sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), tidak tertibnya pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD), dan ketidaktaatan terhadap perundang- undangan.
Ketiga, persoalan penyerapan anggaran. Realisasi belanja APBD meningkat setiap tahun, dengan realisasi tahun 2006 mencapai Rp. 15,162 triliun. Penyerapan anggaran Pemprov DKI Jakarta tahun 2006 mencapai di atas 80 %, dengan saldo SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran) cukup besar yaitu Rp. 2,001 Trilyun. Seharusnya SiLPA, melalui manajemen kas daerah yang optimal, dapat dimanfaatkan untuk peningkatan pembangunan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Keempat, evaluasi LAKIP di Provinsi DKI Jakarta tahun 2006 menunjukkan akuntabilitas kinerja dengan nilai Cukup. Hal ini menunjukkan masih terdapat permasalahan dalam penerapan SAKIP yang perlu disempurnakan, antara lain indikator kinerja yang masih belum selaras antara RPJMD dan RKPD, misalnya dalam hal penanganan kemacetan lalu lintas Jakarta. Selain itu Pemerintah Provinsi belum menyusun penetapan kinerja (Tapkin) sebagai alat untuk mengukur capaian indikator output dan outcome dari kinerja.
Kelima, Pelaksanaan audit terhadap kegiatan pembangunan melalui dedicated program (APBD 2006) yang dilakukan secara sinergi dengan Bawasda menunjukkan temuan pemeriksaan yang cukup materiil. Audit yang dilakukan terhadap 13 program, terdiri atas 507 kegiatan pada 40 dinas/suku dinas/satker dilakukan uji petik audit sebesar 57,77% dari anggaran kegiatan, dan berhasil menyelamatkan potensi inefisiensi keuangan daerah sebesar Rp 47,1 Milyar.
Keenam, menyangkut permasalahan dalam proses negosiasi dengan perusahaan konsorsium operator bus mengenai penetapan tarif Rp/km jalan bus Transjakarta (busway), yang menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan dengan hasil evaluasi harga melalui proses lelang (beauty contest) yang kompetitif.
Ketujuh, menyangkut permasalahan keterbatasan SDM yang memiliki latar belakang keahlian akuntansi.

Untuk membantu Pemda DKI dalam menangani permasalahan-permasalahan tersebut, BPKP dapat memberikan solusi kepada pemda DKI dengan melakukan tugas-tugas khusus sesuai arahan Bapak Presiden pada tanggal 7 Januari 2008, diantaranya : expertise, current issues, clearing house, serta check and balance.
Expertise, BPKP dapat membantu membangun Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) yang profesional melalui training, pendampingan, dan back-up teknis secara sinergistik. Dalam konteks pengawasan keuangan daerah, hal ini tercermin antara lain dengan asistensi Sistem Informasi Keuangan Daerah (SIMDA), pendampingan penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) dan penyusunan Laporan Keuangan Pemda (LKPD), pendampingan penyusunan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD), pengembangan sistem pengendalian intern (SPI), dan sebagainya.
Current issues, yaitu tugas yang terkait dengan informasi yang penting, strategis, berlingkup nasional, lintas sektoral, berskala besar (Big Fish), dan berisiko tinggi, yang diperlukan dalam mendukung Sistem Akuntabilitas Presiden. Dalam kaitan ini, BPKP memberikan solusi dalam bentuk President Accountability Systems (PASs) yang merupakan sistem informasi berbasis web, online, realtime.
Clearing house, tugas ini dilandaskan pada Nota Kesepahaman (MOU) antara Polri, Kejaksaan Agung RI dan BPKP tanggal 28 Sept 2007 di Istana Wapres, yang antara lain berisikan kewenangan bagi BPKP untuk mengklarifikasi terlebih dahulu suatu kasus yang berindikasi tindak pidana hukum yang diharapkan dapat meminimalkan kegamangan para pejabat.
Check and balance, tugas ini diarahkan untuk memberikan “second opinion” terhadap temuan-temuan auditor eksternal (BPK) dalam konteks pelurusan terhadap pelaksanaan tugas di lingkungan birokrasi.


(Jumpono)

Tidak ada komentar: