Kamis, 04 September 2008

“Penekanan COSO ada pada Soft Control”

Lucky Agus Janapria, Ak. MSA. (Direktur Pengawasan Badan Usaha Perminyakan dan Gas Bumi BPKP) :
Penekanan COSO ada pada Soft Control”



Kegagalan utama dari sistem internal control tradisional adalah karena tidak diakomodasinya aspek manusia dan lingkungan sebagai komponen internal control. Meski pada kenyataannya sudah banyak jenis audit yang dilakukan baik oleh internal auditor maupun akuntan publik namun disisi lain skandal keuangan masih kerap terjadi di mana-mana. Paradigma baru pengendalian internal (internal control / IC) yang menekankan kepada aspek manusia dan lingkungan diharapkan akan menjadi jaminan bagi tercapainya tujuan perusahaan dan harapan dari berbagai pihak seperti pemegang saham, regulator dan stakeholder lainnya.

Paradigma baru pengendalian internal itu adalah Sistem Internal Control dengan kerangka dari Committee of Sponsoring Organizations of The Treadway Commission (COSO). Sistem Pengawasan Intern versi COSO adalah suatu kerangka Internal Control yang mengintegrasikan antara aspek operasi dan keuangan perusahaan, antara Top Executives dan Employees, antara tujuan dan risiko usaha, serta meliputi seluruh unit aktifitas perusahaan. Program ini diselenggarakan dalam rangka meningkatkan dan mengefektifkan fungsi Internal Control dengan suatu kerangka pendekatan terbaik, sehingga diharapkan dapat mengurangi dan mengeliminasi berbagai bentuk penyimpangan yang mungkin terjadi.

Direktur Pengawasan Badan Usaha Perminyakan dan Gas Bumi BPKP, Lucky Agus Janapria, Ak.,MSA. ketika ditemui Tim Warta Pengawasan (WP) disela-sela kesibukannya menjelaskan bahwa perbedaan Internal Control versi COSO dengan Internal Control versi sebelumnya (versi Government Accountability Office/GAO) adalah adanya penekanan pada Soft Control (Pelaku) yang merupakan inti dari pengendalian internal dari pada Hard Control-nya (mekanisme, formulir, dsb). Ini juga terlihat dari lima elemen IC, dimana COSO menempatkan Control Environment (Lingkungan Pengendalian) pada urutan pertama dari pada elemen-elemen yang lainnya yaitu: Risk Assesment (Penilaian Resiko), Control Activities (Aktivitas Pengendalian), Information and Communication (Informasi dan Komunikasi), dan Monitoring.

Menurut Lucky, IC dengan konsep COSO yang menekankan pada soft control, cocok untuk diterapkan di lingkungan korporasi / BUMN saat ini. Karena, Lucky melihat bahwa kelemahan yang ada di BUMN pada umumnya terletak pada soft control. ”Sebaik apapun suatu sistem pengendalian manakala terjadi kolusi diantara para pelakunya maka sistem tersebut akan jebol juga,” tutur Lucky.

Sejenak Lucky menceritakan sejarah dibentuknya Satgas IC COSO tahun 2007 di Deputi Bidang Akuntan Negara BPKP. Bermula dari permintaan PT Pertamina kepada BPKP, dalam hal ini Direktur Pengawasan Badan Usaha Perminyakan dan Gas Bumi untuk melakukan audit atas pengadaan barang dan jasa di PT Pertamina. Menurut Lucky, dari berbagai permasalahan yang ditemui, ternyata setelah dikaji lebih dalam intinya terletak pada kelemahan internal control pada pengadaan barang dan jasa. Kemudian PT Pertamina meminta kembali kepada BPKP untuk melakukan assesment terhadap internal control prosedur pengadaan barang dan jasa di PT Pertamina. Sehingga untuk keperluan itu dibuatlah Pedoman Assesment terhadap Internal Control COSO pada Pengadaan Barang dan Jasa pada PT Pertamina.

Perkembangan berikutnya, perusahaan-perusahaan BUMN dilingkungan PT Pertamina dan bahkan diluar PT Pertamina seperti PT PUSRI juga meminta kepada BPKP untuk melakukan Assesment terhadap Internal Control COSO pada Pengadaan Barang dan Jasa-nya. Berangkat dari semua itu dibuatlah Pedoman Internal Control versi COSO untuk seluruh BUMN yang terdiri dari dua, yaitu Internal Control COSO pada Pengadaan Barang dan Jasa , dan Internal Control COSO untuk Entitasnya.

Ketika ditanya Tim WP mengapa memilih konsep IC versi COSO, Lucky menjawab bahwa dasarnya adalah terdapat dalam pasal 22 Keputusan Menteri BUMN Nomor: KEP-117/M-MBU/2002 tanggal 31 Juli 2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada BUMN. Ketentuan tersebut menyebutkan Direksi harus menetapkan suatu Sistem Pengendalian Internal yang efektif untuk mengamankan investasi dan aset BUMN yang mencakup hal-hal seperti: Lingkungan Pengendalian, Penilaian Resiko, Aktivitas Pengendalian, Informasi dan Komunikasi, dan Monitoring. ”Melihat komponen-komponen internal control tersebut, tidak diragukan lagi ini adalah komponen IC versi COSO, meskipun hal itu tidak disebutkan secara tegas dalam Kepmen 117”, ujar Lucky.
.
Satu lagi produk BPKP yang bisa dipasarkan ke Kementerian BUMN, lanjut Lucky, adalah Peer Review terhadap Sistem Pengawasan Intern (SPI) yang pedomannya baru saja diselesaikan oleh BPKP. Produk ini adalah upaya BPKP dalam mengembangkan dan membina BUMN untuk membangun SPI yang kuat. Peer Review terhadap Internal Control adalah suatu keharusan yang dipersyaratkan dalam Standar Profesi Audit Internal (SPAI) minimal tiga tahun sekali. ”Parameter yang ada didalam Pedoman Peer Review olahan BPKP mengambil referensi dari Standar Profesi Audit Internal (SPAI) dan Asosiasi Auditor Internal (AAI), kemudian dari parameter-parameter tersebut dibuat scoring mirip seperti penilaian pada GCG”, jelas Lucky.


(Jumpono/Ards)